Sabtu, 12 Januari 2013

Makalah: Tujuan Penjatuhan Hukum dalam Syari'at Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Didalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.

Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari’ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian dari hukuman?
2.    Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam?
3.    Apa saja syarat-syarat dalam pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam?

C.   TUJUAN
1.    Untuk mengetahui pengertian dari hukuman.
2.    Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam.
3.    Untuk memahami syarat-syarat pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN HUKUMAN
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qadir adalah sebagai berikut:
العقو به هي الجزاء المقرر لمصلحة الجما عة على عصيا ن امر الشارع
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.”
Atas dasar definisi tersebut dapatlah difahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’ dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ الشَّارِعِ
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.

B.   TUJUAN HUKUMAN DALAM SYARI’AT ISLAM
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:
1.    Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2.    Perbaikan dan Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.


3.    Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.

Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1.    Pembalasan (revenge); Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2.    Penghapusan Dosa (ekspiation); Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3.    Menjerakan (detern).
4.    Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal); Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.

Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.

C.   TUJUAN BHUKUMAN DALAM HUKUM POSITIF
Sebelum timbulnya teori terbaru tentang tujuan hukuman, hukum positif telah mengalami beberapa fase, fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Fase Balasan Perseorangan
Pada fase ini, hukuman berda di tangan perseorangan yang bertindak atas dasar perassaan hendak menjaga diri mereka dari penyerangan dan dasar naluri hendak membalas orang yang menyerangnya.
2.    Fase Balasan Tuhan dan Balasan Umum.
Adapun yang dimaksud dengan balasan Tuhan adalah bahwa orang yang berbuat harus menebus kesalahannya, sedangkan balasan umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun tidak berani meniru perbuatannya. Hukuman yang didasarkan atas balasan ini tidak lepas dari unsur-unsur negatif seperti berlebihan dan melampaui batas dalam memberikan hukuman.
3.    Fase Kemanusiaan
Pada fase kamanusiaan prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat telah mulai dipakai. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut muncul teori dari sarjana Italia Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial.
4.    Fase Keilmuan
Pada fase ini munculah aliran Italia yang didasarkan kepada tiga pikiran yaitu sebagai berikut:
a.    Hukuman mempunyai tujuan dan tugas ilmiah yang melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dengan cara pencegahan.
b.    macam, masa, dan bentuk hukuman bukanlah aturan-aturan abstrak yang mengharuskan diperlakukannya perbuatan-perbuatan hukuman dalam tingkatan dan keadaan yang sama. Bessarnya hukuman juga harus memperhatikan berbagai faktor seperti keadaan pelaku. Faktor-faktor yang mendorongnya dan keadaannya dimana hukuman itu terjadi
c.    Kegiatan masyarakat dalam memerangi hukuman, selain ditunjukan kepada para pelakunya juga harus ditunjukan untuk menanggulangi sebab-sebab dan faktor-faktor yang menimbulkan hukuman tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut:
1.     Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).
2.     Untuk mendidik attau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi orang banyak.
Menurut pasal 10 KUHP tentang pidana terdiri atas:
1.    Pidana pokok
a.    Pidana mata
b.    Pidana penjara
c.    Pidana kurungan
d.    Pidana denda
e.    Pidana tutup
2.    Pidana tambahan
a.      Pencabutan hak-hak tertentu
b.      Perampasan barang-barang tertentu
c.       Pengumuman putusan hakim
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan penjatuhan pidana menurut hukum Islam dan hukum positif adalah untuk mencegah, memperbaiki, mendidik serta menjadikan seseorang merasa jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan yang melawan hukum.

D.   SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUMAN
1.    Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’ seperti: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.
Perbuatan dianggap salah jika ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang dalam bahasa hukum disebut dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Al-Isra ayat 15 :
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
2.    Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.

3.    Hukuman Harus Bersifat Universal dan Berlaku Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat, jabatan, status, atau kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’.
Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.

E.   MACAM-MACAM HUKUMAN
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1.    Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a.    Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b.    Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c.    Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d.    Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2.    Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a.    Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b.    Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3.    Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a.    Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b.    Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4.    Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a.    Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b.    Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c.    Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5.    Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a.    Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b.    Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c.    Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d.    Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.

F.    PEMBERLAKUAN HUKUMAN
Dalam perkembangannya, pemberlakuan sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:
1.    Kalangan Tradisional; Kalangan ini beranggapan bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2.    Kalangan Modernis; Kalangan ini beranggapan bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung bagaimana metode pelaksanannya.
3.    Kalangan Reformatif; Kalangan ini mencoba menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya kalangan ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode nash.
Akibat dari pemecahan 3 kalangan tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, perbedaannya adalah:
1.    Sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dimana masing-masing mempunyai prinsip dan tujuan dengan teori serta filosofis yang dipahaminya.
2.    Sanksi pidana bersumber pada ide dasar-dasar “mengapa diadakan pemidanaan” ?
3.    Sanksi tindakan bertolak pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan” ?




BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
1.    Tujuan pemidanaan atau hukuman adalah:
a.    Sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
b.    Sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
c.    Sebagai pencegahan khusus (special prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
2.    Syarat pelaksanaan hukuman antara lain:
a.    Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’.
b.    Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
c.    Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum.
3.    Sanksi dalam hukum pidana Islam di bagi menjadi 3, yaitu:
a.    Kalangan Tradisional.
b.    Kalangan Modernis.
c.    Kalangan Reformatif.
4.    Sedangkan macam-macam hukuman menurut Abdul Qadir Audah yaitu:
a.    Penggolongan dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, yaitu:
1)    Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah).
2)    Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah).
3)    Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah).
4)    Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah).
b.    Penggolongan dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, yaitu:
1)    Hukuman yang hanya mempunyai satu batas.
2)    Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya.
c.    Penggolongan dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
1)    Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
2)    Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.

B. SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.

  
DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin, MA, Hukum Pidana Islam
‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby.
Djazuli, H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
Kumpulan Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Munajat, Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka
Rahman I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wardi Muslich, Ahmad, Drs, H. 2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafik.
Projodikoro Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003).
Wardi Muslih Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
KUHP dan KUHAP, (Bandung: Citra Umbara, 2007).
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar